Terdengar deru mobil bergemuruh ditengah kelam nya langit dan lebam nya awan. Kilatan petir saling beradu seperti lampu disco. Ribuan watt. Tajamnya tempias hujan serta cipratan mobil menyayat. Nyanyian semak-semak dan erangan katak kegirangan menyambut tangisan bah yang turun dari mata bening sang dirgantara pun turut memberi kesan 'seram' malam ini. Lelaki tua berkumis tipis keluar dari mobil sedan keluaran tahun 70an warisan ayahnya, terlihat sedang memandang lekat-lekat jam tangan anti air di pergelangan kirinya. Pukul 22.15, "sudah larut malam, aku cukup telat" batinnya dengan secercah penyesalan.
Dibalik daun pintu yang mengusam, berdiri tegap sesosok wanita usia muda, umurnya sekitar 3 dasawarsa keatas, berparas manis putih namun beberapa kerutan mulai timbul. Kantung matanya yang lebar, memberi kesan hanya ada bulatan putih kecil. Relief tipis di wajahnya mencerminkan seorang istri yang sabar,berwibawa,namun menanggung banyak luka. Angin hujan yang berkesiur menambah kesan 'dingin' di antara mereka. Suami dan Istrinya. Di sana terlihat sang istri tercinta menggigil menahan dingin terkena tamparan percikan hujan sedari tadi, membawa sehelai handuk kecil di jemari kirinya yang lentik.
Ruang yang mampu memberi sedikit kehangatan, sedikit menyamarkan suara gemuruh di luar sana yang semakin beradu. Sang suami tampak lelah mengeringkan rambut gondrong nya yang belum juga kering. Sang istri tampak sibuk mengaduk teh manis dengan jari yang gemetar. Duduk berdampingan di sofa usang yang bertembel. Memandangi layar kotak berukuran 21 inchi yang tampak mempertontonkan warna putih abu-abu. Karena antena berkarat di atas seng tampaknya mulai lelah beradu dengan ganasnya angin.
Sang suami mendekap istrinya tercinta, dengan tangan kasarnya. Berusaha menyembunyikan perasaan berkecamuk di hatinya. Mata bening sang istri, mampu meluluhkan gejolak api yang semakin menyala-nyala di lubuk jiwanya. Terbebani beban sosial.
"Buk, ada yang perlu kita bicarakan" desah si suami yang bernama Paryo itu.
"Ada masalah apa lagi pak?" jawab Yani istrinya tercinta, yang sepertinya kurang siap menghadapi masalah baru dalam genggamannya.
"Kantor tempat ku bekerja pailit buk, sebagian besar karyawannya di PHK termasuk aku" bergetar bibir Paryo menahan pilu yang menyayat hati.
Seakan sudah kebal akan penderitaan, Yani menjawab dengan santai namun penuh luka "lalu kita harus bagaimana pak?"
"Sepertinya aku sudah tidak sanggup buk membiayai sekolah Ainaya, lebih baik dia membantu ibuk menjaga toko Pak Subagyo saja." jawabnya dengan ritme yang pelan namun mantap.
"YaAmpun pak, ingat. Sengsara seperti apapun kita, kita harus menyekolahkan Ainaya. Agar masa depannya cerah, tidak amburadul luntang-lantung hanya untuk mencari sumber utangan" Yani berbicara diselingi isak tangis yang menyayat bagaikan alunan sendu menggores luka pilu.
"Buk, bukannya aku tak mau berusaha lagi. Tapi cobalah peka sedikit, aku ini sudah berusaha mati-mati an mencari pekerjaan lain" bantah Paryo
"Ah mati-mati an bagaimana, wong gaya hidup mu saja belum prihatin. Kemana-mana masih pakai sedan, mengapa kamu tidak berpikir untuk menjual sedan tua mu itu?" bentak Yani lirih.
"Buk, sedan itu warisan Alm. ayahku, tega sekali kamu menyuruhku menjual nya! Apapun alasannya aku takkan melakukan itu!"
"Pak, tega sekali kamu? Apa karena Ainaya bukan anak kandungmu lalu kamu kurang mengurusnya? Tak pernah mengedepankan nasibnya?" tusuk Yani dengan cercaan tajam
"Ah sudah buk, aku capek mau tidur" ujar Paryo pelan sambil berjalan gontai ke kamar tidur. Membuai si buah hati tirinya dalam dekapan paksaan. Yani hanya bisa terdiam, menerawang ke masa antah berantah.
01.00
"Pak, aku mau pipis" Ainaya menggoncang tubuh sosok ayahnya, yang dia anggap berwibawa itu.
"Ah bentar nak, Bapak sangat lelah, carilah ibumu" Paryo sedikit mengigau
"Ibuk daritadi pergi pak, tidak tahu kemana. Katanya sih mau ke tempat saudara. aku kurang tahu pak"
Paryo masih diam tanpa gerakan. Tiba-tiba PROKK!!
"Ainaya, mengapa kamu tiba-tiba menampar Bapak? kamu bermaksud memaksa bapak bangun?!" bentak Paryo diselingi raut muka marah dengan mata sipitnya yang masih mengantuk.
"Bukan pak, tadi ada lalat yang hinggap di pipimu. Aku tidak tega bapak diganggu pulas tidurnya hanya karena lalat jorok itu" jawabnya pelan
"ah kamu hanya bisa menambah beban hidup bapak, pergi sana!" bentaknya lagi
Dengan bulir air mata yang menetes berkilauan dari mata bening anak usia belia itu, ia pergi mencari Ibunya. Yang sesungguhnya pergi tanpa tahu kemana. Menerjang derasnya tangisan langit, melumuri kulit mulusnya yang suci tanpa dosa. Seakan mencari sebuah jawaban yang sebenarnya absurd.
11102012
0 Comments:
Posting Komentar