Rasa Temanku, Juga Rasaku
Pernah kemarin hari dia bercerita denganku. Mata sayu nya mungkin ada sangkut paut nya dengan gelombang pita suara yang bergetar, aku tahu bahwa hati nya remuk. Apalagi jiwa nya, pasti memekik.
Tak hanya sesekali, namun berkali-kali dia mengadu keluh. Dan aku pun tahu, dia punya cinta. Yang sampai sekarang belum terbalaskan. Cinta suci, yang bukan hanya obsesi.
Memendam rasa setengah tahun, cukup lama bukan? Dan cukup sakit untuk memupuk luka diam-diam. Menyembuhkan semampunya.
Dibalik figur nya yang terlihat tegar, dia sakit. Hampir sekarat mungkin hatinya. Sampai kapan dia harus berpura-pura tertawa lagi? Sampai takdir dibelokkan, dan cinta menuju kepadanya?
Ah masa bodoh akan waktu? Toh cintanya tidak memandang keadaan. Dia terjang apa itu sakit, mengkamuflase diri sendiri. Untuk mencapai tempat berpulang hati.
Temanku, aku hargai sedihmu. Tapi, kita pantas untuk memaafkan. Dia temanmu, teman. Juga temanku! Kita berdua, dan bertiga. Kita sering tertawa bersama, dalam situasi berbeda.
Hei, kamu tahu kan? Cinta itu memilih katanya, bukan dipilih. Dan cinta nya memilih orang lain, bukan kamu. Bukan juga aku, temanku sayang.
Lantas kita harus berdiaman, saling dendam? Macam apa itu! Tunjukkan sportifitas mu teman, dalam permainan cinta kita ini. Kalah untuk merebut hatinya, dan biarkan teman kita yang menikmati kemenangannya.
Kita berdua saling tak tahu, sampai kapan harus bahagia, tertawa, dengan topeng. Bahkan waktu, sukar melepasnya. Topeng kita merekat, mengarat hingga lapisan epidermis. Tapi kita yakin, topeng kita takkan permanen. Kelak, hati yang akan melepasnya.
Oh iya, kamu tahu? Mungkin kamu hanya menganggap bahwa dirimu semata yang menderita. Tunggu dulu! Kita sama-sama punya hati. Dan kita saling berbagi kesedihan, kesukaran dan juga kebohongan. Ya, sebenarnya kita saling membohongi satu sama lain. Bahwa dengan keadaan sekarang, satu dari kita sulit untuk bahagia!
Tak hanya sesekali, namun berkali-kali dia mengadu keluh. Dan aku pun tahu, dia punya cinta. Yang sampai sekarang belum terbalaskan. Cinta suci, yang bukan hanya obsesi.
Memendam rasa setengah tahun, cukup lama bukan? Dan cukup sakit untuk memupuk luka diam-diam. Menyembuhkan semampunya.
Dibalik figur nya yang terlihat tegar, dia sakit. Hampir sekarat mungkin hatinya. Sampai kapan dia harus berpura-pura tertawa lagi? Sampai takdir dibelokkan, dan cinta menuju kepadanya?
Ah masa bodoh akan waktu? Toh cintanya tidak memandang keadaan. Dia terjang apa itu sakit, mengkamuflase diri sendiri. Untuk mencapai tempat berpulang hati.
Temanku, aku hargai sedihmu. Tapi, kita pantas untuk memaafkan. Dia temanmu, teman. Juga temanku! Kita berdua, dan bertiga. Kita sering tertawa bersama, dalam situasi berbeda.
Hei, kamu tahu kan? Cinta itu memilih katanya, bukan dipilih. Dan cinta nya memilih orang lain, bukan kamu. Bukan juga aku, temanku sayang.
Lantas kita harus berdiaman, saling dendam? Macam apa itu! Tunjukkan sportifitas mu teman, dalam permainan cinta kita ini. Kalah untuk merebut hatinya, dan biarkan teman kita yang menikmati kemenangannya.
Kita berdua saling tak tahu, sampai kapan harus bahagia, tertawa, dengan topeng. Bahkan waktu, sukar melepasnya. Topeng kita merekat, mengarat hingga lapisan epidermis. Tapi kita yakin, topeng kita takkan permanen. Kelak, hati yang akan melepasnya.
Oh iya, kamu tahu? Mungkin kamu hanya menganggap bahwa dirimu semata yang menderita. Tunggu dulu! Kita sama-sama punya hati. Dan kita saling berbagi kesedihan, kesukaran dan juga kebohongan. Ya, sebenarnya kita saling membohongi satu sama lain. Bahwa dengan keadaan sekarang, satu dari kita sulit untuk bahagia!