Jimmy merangkul ku biasa, dengan sangat mesra. Jemari kanan nya menggelitik lembut pinggangku. Tanpa malu senja mengamati kita, mengamati sejoli kasih yang sangat setia akan cinta, juga senja. Di atas kursi kayu balkon rumah kos, kita berciuman. Sambil merangkul erat tubuhku, seakan belum siap untuk berpisah.
"Apa mungkin aku hidup tanpa bidadari sepertimu" gombalnya, sambil mengamati kedua bola mataku. Membelai lekukan wajahku.
"Mulai deh gombalnya."
"Lho, aku serius. Heran deh, Tuhan baik banget"
"Bukannya Tuhan memang baik ya?"
"Tapi ini lebih dari baik, buktinya Dia segan kasih bidadari dari surga buat pendamping aku kelak"
"Itu kan takdir aku, buat jadi pendampingmu sayang"
"Emm.. Apa ada yang bisa pisahin kita ya? Salah satu takdir Tuhan"
"Gak ada yang bisa menyangkal takdir"
"Sekalipun jarak?"
"Aku siap kok, aku percaya jarak itu hanya ujian. Bukan alat perpisahan"
"Kamu siap, aku juga harus siap. Kita berdua harus terbiasa menikmati senja sendiri"
"Aku janji, saat kamu pulang nanti, senja hanya milik kita berdua"
"Hanya kepada senja kutitipkan raga, serta hatimu" ujar Jim, tulus.
"Walaupun senja di kota ku dan kotamu pasti berbeda, tapi rasa dan indahnya pasti sama" jawabku mantap. Lalu menggenggam tangannya erat.
Hingga senja kali ini, biar kami menghabiskan waktu berdua. Walaupun mereka tidak tahu, tapi senja mengerti. Kisah kami, yang akan terhalang jarak dan waktu, tetap akan sejati. Senja pasti menghubungkan, serta melukis nya kekal. Di lekuk langit oranye.
0 Comments:
Posting Komentar