Kuamati bulir-bulir hujan
yang mendarat manis di kaca jendela. Beningnya ku suka. Dingin yang menjalar di
setiap ujungnya, kesejukan yang bertiup di setiap jatuhnya, membuatku cinta.
Gemerisik asyik nya, terdengar bak melodi indah di indra pendengaranku. Tanah
yang basah, serta bau nya yang khas menambah kesan tersendiri disetiap hujan,
hujanku.
Tubuhku terbaring lemah di
atas ranjang putih. Mataku memang hanya menyorot ke arah jendela, tetapi
jiwaku. Jiwa ku pergi dengan birahi sendiri, menerjang deras nya hujan di atas
tanah basah. Menari-nari seanggun bellarina, ya kebetulan namaku Bella Arina.
Dulu, seorang pria pernah
menguji kemampuan menari ballet ku. Nama nya Rino, dia guru ku di sekolah
menari. Dan 5 tahun lebih tua dariku. Aku memang menghormati dia sebagai guru,
tetapi di luar kegiatan, aku dan Rino menonton film di bioskop bersama, menikmati
manis nya es krim rasa coklat, dan kami sering menari di atas teriakan hujan.
Suatu hari, saat kami
berdua sedang menikmati tarian indah ala ‘kita’, tiba-tiba dadaku terasa sesak.
Pandangan ku menjadi kabur, dan rasa nya hujan sangat tidak bersahabat lagi
terhadapku. Dingin nya hujan, tusukan rintik nya, melukaiku. Terakhir kali yang
ku tahu, Rino berteriak “Bella!”
Semenjak itu, aku
terkurung dalam kamar mewah ini. Aku dilarang untuk menari bersama hujan,
bahkan sekedar mengecup bulir nya pun aku tak bisa. Apalagi, aku harus terbiasa
hanya ‘melihat’ hujan tanpa Rino. Kini aku sendiri, sepi, dan hujan pun tak
mengenali ku lagi. Si penari hujan.
Hari ini, seperti biasa
yang ku lakukan hanya termenung melihat sahabat lamaku menyerbu tanah,
berteriak sukacita, tanpa penari nya lagi. Sedih? Toh bagaimana lagi, aku sudah
pensiun. Dan hujan adalah sebagian dari kenanganku.
Tunggu, apa itu Rino? Dia
menari dengan senyuman, bersama seorang penari. Cantik parasnya, lemah gemulai
gerakannya. Pantas hujan bersuka cita, si penari telah kembali. Tetapi bukan
aku, melainkan penari yang lain. Namanya Bella Riana, saudara kembarku.
0 Comments:
Posting Komentar